Search Icon

Wednesday, February 10, 2016

Dee

   
Melky Rahmat Azi-Dee ingat tidak saat kita berdialog berdua membicarakan hal yang tidak akan mungkin nyata? Katamu "Kita harus melawan apa yang kata orang lain tidak mungkin". Kamu selalu mengatakan itu berulang-ulang kali saat kita bertemu. Bahkan, setidaknya kamu selalu merobohkan semangat dari apa yang aku inginkan. Selalu berkata, Melky kamu tidak akan bisa seperti ini, seperti itu, mereka yang bisa melakukan itu sudah dihadiahi anugerah terindah oleh tuhan. "Lantas, apa aku sendiri tak sedikit pun diberi hal yang istimewa oleh Tuhan?" Tanyaku sambil melototin dia yang tepat berada di sisiku. Dia sontak menjawab, berdiri sambil menunjukan jarinya ke bagian dadaku, dan berkata: "Tidak, kamu malah diberi hal yang sangat istimewa dan berharga".
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut ia duduk kembali. Aku masih terdiam melamun sambil merasakan kesal dan bertanya dalam hati "Manusia seperti apa sih kamu Dee, kamu selalu berkata-kata namun tak pernah memberikan penjelasan yang nyata".
Melky Rahmat Azi
Aku tulis cerita ini di alat komunikasi yang pernah kau genggam juga

Sepotong Cerita Dee

Lonceng jam pun berbunyi tepat pukul 12:00 siang, Dee pun ke bawah, pamit salam sambil mencium tangan ibu dan bapaku, tak lupa pada kakaku. Hanya padaku saja yang tak jelas kalau mau pulang. Dia hanya berkata: "Aku pulang dulu, sudah siang, nanti keluargaku di rumah cemas". Dia pun pergi turun dari atas sambil melambaikan tangan padaku yang sedang duduk membisu. Aku hanya membalas dengan senyum saja saat ia melakukan hal seperti itu. Kejadian ini bukan yang pertama kali, namun setiap kali ia menemuiku selalu saja kelakukaanya seperti ini, datang dan pergi dengan senyuman, menemaniku dengan dialog yang tak pernah jelas.

"Dee aku bangga jika kau datang kerumahku, aku senang dapat berteman dan melihat sikap seorang wanita sepertimu, semoga saja kamu pun begitu terdahadapku". Hanya ini yang kulamunkan saat terbaring di kasur sebelum memejamkan mata untuk beristirahat.
Beberapa tahun kemudian: Pertemanan kita semakin membaik, kita saling merendahkan diri, saling terbuka untuk mengetahui satu sama lain.

Tepatnya hari minggu saat ia libur kuliah dan aku pun tak ada jadwal aktifitas, kita berangkat bermain dan menemui tempat makan saat perut mulai bernyanyi. Seperti hal-nya mereka kebanyakan orang lain yang bermain bersama pasangannya. Saat duduk di tempat baso, kami pun memesannya dengan selera masing-masing. Aku tak memakai sambal, dan ia meminta kasih sambal yang banyak pada pedagang baso yang kita singgahi tempatnya. Sesekali kita saling tatap muka dan terlihat malu kalau pandangan kita terlihat satu sama lain, memiliki perasaan yang berbeda dari biasanya. Pesanan kita akhirnya dihantar ke depan kursi yang sudah cukup lama kita duduki, kita berdua pun dengan semangat menyantapnya.

Saat menikmati baso yang lezat itu, ia pun sesekali berkata dan bertanya: "Kita, Aku Dee dan kamu Melky, memiliki dunia yang tidak dimiliki oleh orang mana pun juga, maukah kamu membantuku menghiasi dunia kita?". Aku pun tersenyum membalas senyumnya yang melontarkan pertanyaan tersebut. Hanya satu kata yang bisa terucap, "Iya", sambil melambaikan tanganku tepat ke arah kepalanya. Ia pun menghindari serangan itu sambil memukul tanganku. "Heyyy jangan berani menyentuhku ya, kita boleh bersentuhan kalau berboncengan di motor, dan itu hanya situasi. Ingat, hanya situasi, sesekali tanpa kesengajaan".

"Hahahaha" aku pun tertawa sambil berkata"Terima kasih, kamu telah mengingatkan syarat pertemuan kita, namun janji itu sudah kamu ingkari barusan. Yah.... Baru saja kamu memukul tanganku, dan kulit tangan kita bersentuhan karena pukulanmu itu".

Dia pun terlihat kaget sambil berkata "Tidak,,, itu tidak termasuk dari perjanjian yang telah kita buat dulu" ia pun tertunduk sambil meneruskan sisa baso yang masih banyak di mangkoknya. Wajahnya terlihat malu, karena ia benar-benar sudah salah. Namun, kuhiraukan kejadian itu, dan ku alihkan pembicaraa lain untuk mengubah suasana sunyi yang telah ia buat. Keseruan pun akhirnya datang kembali, dan setelah kita puas dengan perjalanan yang dilewat, kita pun pulang ke rumah masing-masing. Terkadang ia mampir ke rumahku, dan terkadang tidak. Terkadang menunggangi kendaraanku, dan terkadang menunggangi kendaraannya.

"Ahhh benar-benar teman wanita yang aneh, kita tidak pacaran, kita hanya berteman, namun kenapa kita seolah-olah seperti pacaran". Hanya itu lamunan malamku saat siang tadi sudah berkencan dengannya.
***
Beberapa hari kemudian ia datang dan berdialog denganku, membicarakan topik demi topik yang menurutku sangat berguna. Kita berdua akrab, sambil makan, minum dan bersantai. Ia senang menganggap rumahku seperti rumahnya sendiri, dan aku pun senang. Sedikit ku ingat lamunanku dulu setelah bermain dengannya. Aku memberanikan diri dan berkata: "Dee... maaf sebelumnya kamu jangan marah jika aku harus berbicara seperti ini. Kita sudah saling mengenal, dan kita tahu diantara kita hanya berteman. Kamu, aku tidak mempunyai pasangan (pacar), bagaimana kalau kita pacaran saja, mungkin akan lebih baik dari ini". Kataku.

"Hahahahah" ia tertawa sambil menaggapi apa yang kubicarakan tadi. "Tidak, Mel, aku tidak mau kita pacaran, seperti ini sangat nyaman, biarkan dunia kita seperti ini, walaupun aku juga sama memiliki perasaan sepertimu, tapi aku tidak, dan tidak mau kita pacaran, sudahlah kita seperti ini saja, aku sangat-sangat bahagia". Ia berkata seperti itu sambil kulihat senyumnya menyembunyikan sesuatu. Aku tahu ia sedang sedih, namun di awal pertemuan kita, satu sama lain tak pernah bertanya tentang masalah hidup masing-masing, karena kita tahu jika memang masalah itu bisa dipecahkan bersama, maka salah satu orang yang memiliki masalah pasti akan berbicara. Jadi, sudahlah aku tak repot menanyakannya walaupun ku tahu ia terlihat sedih.
***
Beberapa hari, bulan, kemudian kita berjumpa kembali. Kulihat ia masih seperti biasa, semangat dan senyum yang menawan. Aku duduk di kursi memegang remote TV yang sedang kucari program televisi menarik, ia Dee sedang tiduran dikamarku sambil membaca buku. Kamarku sudah dirapihkan dengan baik olehnya, dia tahu kalau aku jarang merapihkan tempat tidur, hanya sesekali jika aku mau. Tak lama kemudian ia menyuruhku mematikan TV, ada yang mau diomongin, aku segera menuruti apa yang ia suruh. Kita duduk berhadapan, hanya meja bundar yang menghalangi. "Mel, ada cowok yang suka sama aku, ia tampan tapi belum tentu baik, aku tidak mengenal kehidupan dia, tapi ia benar-benar menyukaiku, bahkan aku merasa terganggu, ia mengajak aku untuk jadi pacarnya, aku sudah menolaknya berkali-kali namun cowok itu bersikeras dengan keinginnnya". Setelah kudengar ungkapan itu, aku pun bertanya "terus apa sekarang yang kamu mau Dee,? Apa kamu akan menyuruh aku untuk menemuinya?". "Tidak Mel, jangan, kamu gak perlu repot-repot, aku hanya ingin meminta kamu jangan marah kalau aku mendekatinya", Dee berkata seperti itu. Tentu saja aku bingung, "Apa yang sekarang kamu mau?" Tanyaku. "Aku hanya ingin dekat dengan cowok itu, aku ingin tahu apa setiap cowok sama sepertimu, apa ada lagi cowok yang lebih baik sepertimu, aku akan mau jadi pacarnya". Dia berkata seperti itu seakan-akan tidak mementingkan perasaanku. Sejenak aku diam, dan akhirnya aku Iya-kan kemauan dia walau sedikit berat hati. Tapi apalah daya, aku bukan pacarnya, dan aku tidak ada hak jika melarangnya.

Lewat satu bulan kemudian kita bertemu kembali, tanpa mengabari lewat pesan atau telephone terlebih dahulu. Kita tahu, kita cuek sama handphone, dan tidak seru kalau bertemu di rencanakan. Ia mampir ke rumahku, katanya sudah ada perlu jadi sekalian mampir. Kedatangannya hanya sebentar, ia hanya menawarkan diri agar beberapa hari kemudian aku mengantarkannya ke tempat kost dekat kampusnya. Aku setujui kemauannya, walaupun merasa heran, karena tak pernah sekali pun ia menyuruh seperti ini. Setelah itu ia langsung pulang, kita tak sempat berbicara lebih lebar.

3 hari kemudian aku pun siap membayar janji yang harus ku tepati. Tepatnya pukul 15:00 ia mengirimkan pesan, bahwa sekarang sudah menunggu di tempat yang sudah ditentukan sebelumnya. Bergegaslah aku bersama kendaraanku menjemput dan mengantarkan manusia lucu ini ke tempat yang ia inginkan. Hampir lama kukendarai motor, akhirnya kukihat dia berdiri di pinggiran jalan, segeralah ku kayuh kendaraan ini dengan cepat. Tepat aku berhenti di depannya, ia menyuruhku untuk turun, ia ingin mengemudi, sedangkan aku sendiri harus di bonceng di belakangnya.

Dalam perjalanan ia berkata: "Mel, aku pacaran dengan cowok itu, kuharap kamu tidak marah"-"Mel, aku menyukai cowok itu, tapi kalau aku nikah hanya berharap denganmu"-"Mel kakaku beberapa bulan lagi punya bayi"-"Mel, adiku jika sudah besar nanti ajaklah main dan ajarkan apa yang kamu bisa"-"Mel, aku sebentar lagi ujian, kita pasti lama takkan ketemu, kuharap kamu menyibukan diri dengan aktifitasmu.""Mel, saat aku jarang menghubungimu, kuharap kamu bisa bahagia dengan orang di sekitarmu"-"Mel, aku ingin kamar yang luas biar aku fokus belajar saat akan ujian". Aku hanya tersenyum dan cukup bilang iya... Iya saja.

Akhirnya sampailah di depan kos-annya dia. Ia pun turun dan menyuruhku untuk segera pulang karena hari sudah hampir malam. Tak lupa juga mengucapkan terima kasih, sambil memberikan senyum manis yang gembira. Di perjalanan aku baru ingat, ternyata handphone miliknya masih di saku celanaku. Kupinggirkan motor yang ku kendarai, sambil bingung harus berbuat apa. "Mau kembali memutar jalan sudah hampir malam, mau di bawa ke rumah takutnya ada hal penting di handphone-nya, bagaimana ini?". Sudahlah, hari mulai gelap, lebih baik aku pulang, mungkin besok akan ku hantarkan kembali. Niatku.
***
Sesampainya di rumah pukul 18:00, aku makan, mandi, shalat dan membereskan rumah sampai benar-benar terasa nyaman. Saat malam tiba, aku merindukannya, ku ambil handphone-ku dan ku telphone dia. Suara handphone-nya langsung berbunyi di dalam tas-ku, ternyata aku lupa bahwa handphone miliknya masih ada padaku. Ku ambil sambil penuh penasaran ingin membuka handphone miliknya. Aku baru pertama kali jika membuka handphone-nya, apa aku termasuk orang yang tidak sopan, membuka handphone milik orang lain. Ah tidak, dia bukan orang lain, dia sudah ku anggap keluargaku sendiri, dan dia juga sering memegang dan membuka handphone pribadiku.

Tak lama kemudian datanglah pesan dari nomer yang tak bernama, sekilas isi pesannya terlihat dengan jelas, namun kuhiraukan itu dan kusimpan kembali handphone miliknya. Namun pesan terus datang bertubi-tubi, aku takut itu pesan dari keluarganya yang khawatir ingin menanyakan keberadaanya. Akhirnya ku buka pesan itu. Namun tak disangka, ternyata handphone terus berbunyi karena adanya pesan dari seorang cowok. Aku langsung mengenalinya, itu pesan dari cowok yang katanya pacarnya. Aku sama sekali tidak marah, hanya saja cemburu, dan itu hal yang wajar. Aku benar-benar marah saat isi pesan dari cowok tersebut kulihat dan kubaca dengan jelas. Cowok macam apa yang menulis pesan seperti ini, jelas ini tak bisa dibiarkan. Aku tidak mau Dee yang budi pekertinya baik, berparas cantik dan polos memilih cowok yang berkata kasar. Benar-benar kesal, jika saja aku bertemu denga cowok ini entahlah apa yang akan ku perbuat, ingin sekali kumaki dan ku gampar wajahnya.

Keesokan harinya hatiku masih kesal, berharap dapat kulupakan tampilan-tampilan pesan yang ada di handphone miliknya Dee. Hari sudah siang, kulihat jarum jam menunjukan di angka 11, langit pun terlihat gelap, dan menandakan hujan akan turun dengan derasnya. Walaupun begitu, aku tak menghiraukan keadaan tersebut, ku ambil tas yang di dalamnya sudah terisi perlengkapan-perlengkapan yang seperti biasanya kubawa, termasuk handphone-nya Dee. Hujan pun turun, aku memaksakan diri berangkat untuk menghantarkan handphone yang tak sengaja ku bawa. Aku menyuruh Dee agar menunggu di tempat awal aku mengantarnya.

Dalam perjalanan yang ditemani hujan lebat, angin kencang, tanpa jaket dan jas hujan, aku tetap melanjutkan perjalananku, walau dingin ini menggigil tubuhku, aku harus segera menemuinya. Tak lama kemudian kita pun bertemu namun tak banyak bicara, aku tak mau ada percakapan di sela-sela yang menegangkan ini, walaupun aku benar-benar kesal padanya, kutahan dengan rasa sabar sampai benar-benar kekesalan ini mencair. Sebentar kuluangkan waktu untuk menatap wajahnya, ia terlihat menyesal, namun semua sudah terlambat, karena aku sudah mengetahui semuanya.
***
"Maaf aku tak sengaja membuka semua pesan dari cowokmu. Oh iya, beberapa hari ke depan aku keluar kota, ada beberapa aktifitas yang harus ku isi. Sekitar 2 bulan atau lebih kita takkan bertemu, kuharap kamu bisa jaga diri, jaga kesehatannya juga, aku pun begitu. Belajar yang rajin, semoga ujianmu lancar seperti yang kamu inginkan" Aku hanya berkata seperti itu sambil memberikan handphone miliknya, ia menanggapiku hanya dengan menganggukan kepala. Wajahnya terlihat bersalah, terlihat sedih, dan menyesal. Sedangkan aku bersikap seperti biasanya.

Beberapa hari kemudian aku pun pergi ke luar kota mengerjakan aktifitas yang sudah siap menanti disana. Sesampainya disana, kukabari dia lewat telephone genggamku.

"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam" Gimana Mel sudah sampai?
"Allhamdulillah, Berhubung Melky sibuk kerjaan disini, dan Dee sibuk persiapan mau ujian, ingat yah pesan kemarin yang disampaikan". Kataku.
"Allhamdulillah, syukurlah kalau sudah sampai. Maaf, pesan yang mana Mel?".
"Aduuhhh,,, pesan yang jaga ini, jaga itu, jaga semuanya
smile emotikon
". Jawabku.
"Ooooooh iyaaa siaaap Bos. Kamu-nya juga yah. Eh nanti kalau mau pulang, Dee minta sesuatu yah, yang istimewa dari sana pokoknya".
"Oke. Eh udah dulu yah, baru dateng nih mau istirahat dulu, nanti kita berbincang di dunia nyata, bukan di handphone yang tanpa kabel ini".
"Heheh iya-iya sok istirahat dulu, aku siap-siap buat celengan rindu, dan saat kamu pulang, kamu harus membuka celengan rindu punyaku yah, soalnya pasti rindunya penuuuuuuuh sekali". Jawabnya, sambil terbayang bagaimana senyum di wajahnya yang bisa bercanda dengan cerianya.

Dalam waktu satu, dua, tiga, empat, dan lima minggu kita jarang berkomunikasi, hanya sekali atau dua kali, itu pun hanya saling bertanya keadaan, tidak lebih.

Setelah dua bulan berlalu akhirnya aktifitasku selesai, dan dia, Dee sudah menyelesaikan ujiannya dengan lancar. Tentu saja perasaanku bahagia saat itu, membayangkan ingin segera pulang menemuinya. Bercerita tentang pengalamanku, dan bercerita tentang perasaan rindu yang menggebu tiap harinya. Kutahu, pasti Dee pun begitu.

Seminggu sebelum aku pulang, aku hubungi dia tepatnya hari senin:
"Hallo, Assalamualaikum"
"Hallo juga, Waalaikumsalam". Jawabnya.
"Lagi apa, sehatkah?"
"Allhamdulillah, lagi nunggu sesuatu yang akan datang.hehe Melky sendiri gimana, sehat juga". Jawabannya dia sambil bertanya balik padaku.
"Allhamdulillah, wadduuuuhh tenang, aku hari kamis pulang, luangin waktu hari minggu-nya untuk ketemu yah. Oh iya mau dibawain apa darisini, katanya mau yang istimewa". Tanyaku.
Ia pun menjawab "Sudah siap membuka celengan rindu?. Yang istimewa itu cuma ingin kamu datang dengan selamat darisana, datang, temui, dan traktir makan-makan".
"Kalau masalah itu gampang nduut, oke deh sampai ketemu yah". Jawabku yang segera langsung ku tekan tombol merah di handphone-ku.

Sesuai janji aku datang di hari kamis, beristirahat, dan tak sabar menunggu hari minggu. Besoknya hari jum'at dan sabtu harus mengurus sisa-sisa kerjaan yang belum beres dari luar kota. Aku sibuk sendiri, berkendara motor mondar-mandir sana-sini sambil terus mengingat hari minggu.

Harusnya ini tak terjadi: Ini sebenarnya hari minggu, namun aku sendiri tak tahu bahwa ini hari minggu, entahlah kenapa aku menyangka bahwa ini hari sabtu.
***
Pagi di hari itu aktifitas kerjaan sudah beres. Kuharap besok bisa berdialog lagi bersamanya, tanpa membicarakan masalah yang sebelumnya telah terjadi. Saat siang terlihat langit mendung, sengaja ku langkahkan kaki ini beranjak dari rumah, ingin menemui beberapa teman yang sudah cukup lama kutinggalkan. Tibanya di salah satu rumah teman yang kutemui, aku terbawa suasana, kita asyik bercanda, mengobrol kesana-kesini. Waktu pun tak terasa hampir sore, namun aku enggan untuk pulang. Hujan sangat lebat, langit pun terlihat mendung, bahkan kulihat jalanan tergenang banjir. Ah tidak, sudah pukul 17:30, pukul 19:00-nya ada janji yang harus ku tepati pada salah satu teman lainnya. Akhirnya aku bergegas pulang mengendarai motor di tengah hujan yang jalanan dan pinggiran rumah seperti hutan rimba.

Sesampainya di rumah tepat pukul 18:30. Ada beberapa pesan masuk ke dalam handphone yang aku gengam. Kubaca dengan teliti secara berulang-ulang, dan aku tahu ini tidak terjadi. Posisiku saat ini masih sadar terkontrol dengan baik, aku tidak percaya dengan isi pesan yang kuterima. Selang beberapa jam kemudian sekitar pukul 21:00. Telphone genggamku berdering, dan itu panggilan dari salah satu teman terbaiknya. Secepat mungkin ku angkat sambil berbicara tergesa-gesa untuk menanyakan bahwa kabar buruk ini benar-benar tidak terjadi. Namun apa yang terjadi: Teman yang satu ini menceritakan kejadian yang sebenarnya, dan sontak aku berdiam diri sambil menjatuhkan handphone-ku begitu saja. Air mata mengalir tanpa dipaksa, tubuh menggigil tak menerima, lemas, badan ini lemas seakan tak ada daya untuk melangkah.

"Tidak, aku tidak percaya, bukankah besok kita akan bertemu". Ucapku dalam hati sambil melihat kalender yang terpasang di dinding. Kaget, seketika aku kaget saat kalender menunjukan bahwa ini hari minggu, hari dimana seharusnya kita sudah bertemu. Benar-benar perasaan ini serba salah "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Tanyaku di hati sambil meyakinkan bahwa sosok dirinya masih menikmati sisa hidupnya. Waktu terus berjalan, jarum jam berputar seperti biasanya, hingga pagi pun tiba memaksaku melangkahkan kaki setelah semalaman hanya terbaring melamun keadaan yang sebenarnya terjadi. Mata ini tak terpejam sedikitpun, hanya linangan air mata yang mengalir tak henti-henti.

Saat matahari terbit akhirnya kaki ini sanggup melangkah, dan aku harus membuktikan bahwa kejadian kabar kemarin tidaklah nyata. Jam 08:00 pagi aku berangkat menemui salah satu teman terbaiknya sambil menanyakan apa yang sudah terjadi. Orang yang satu ini benar-benar tidak berbohong, ia menceritakan semuanya sambil mengeluarkan air mata juga. "Aku jadi penasaran, sebaiknya kita datang kerumahnya saja". Ajaku sambil memegang tangannya. Ia pun mau, dan kami berdua bergegas dengan cepat, agar segera tiba ke rumahnya Dee.

Dari kejauhan kulihat lalu-lalang orang yang tak seperti biasanya. Isak tangis dari wajah yang tak merelakan, begitu juga suara jerit yang tak tertahankan, benar-benar kaki ini tak sanggup lagi melangkah. Kurasa tepukan tangan yang hinggap di pundak yang lemas ini. "Mel, sabar, ini sudah takdirnya, kamu hanya perlu berdo'a yang terbaik saja". Ucap teman yang berangkat bersamaku tadi. Aku masih berdiri di depan halaman rumahnya, kulihat ayah, ibu dan keluarganya sedang menerima banyak tamu. Semua orang berbela sungkawa, isak tangis maaf sambil mengucapkan do'a yang terbaik. Sekilas pandanganku tertuju pada kakak perempuannya, yang sempat ia bilang sebentar lagi mau punya bayi.

Kuhampiri secara perlahan dengan perasaan yang masih sama. Tak lama kemudian ia memanggil namaku "Mel, barusan sudah dimakamkan sebelum melky datang". Aku semakin tertegun, seakan ini benar-benar sandiwara. Kujabat tangan kakaknya, dan seketika juga aku masuk ke dalam rumah menemui ibu dan ayahnya. Ibunya berkata "Maaf jika Dee punya banyak salah sama Melky, Dee sekarang sudah tiada". Ibunya menangis tak kuat lagi meneruskan pembicaraannya. Aku dihadapannya, sama sekali diam enggan berkata sedikitpun. Melihat situasi ini akhirnya aku pamit dan meminta izin menemui tempat pemakamannya.

Sesampainya di pemakaman: Kulihat batu nisan yang bertuliskan nama lengkap dengan kelahirannya. Wangi-wangian bunga yang bertebaran di atas pemakamannya membuat aku letih dan tak bisa berkata sedikitpun. Aku masih belum percaya, "kenapa waktu yang seharusnya kita bertemu ada di salah satu batu nisan yang tersusun dengan rapih". Terus saja kata-kata ini yang ada dibenakku, masih tetap menyalahkan diri sendiri. "Seandainya aku tidak lupa, aku tahu itu kemarin hari minggu, aku tak merasa hari sabtu, mungkin sekarang kamu masih bersamaku tersenyum".

Setelah berdo'a dan mengucapkan apa yang ingin ku ucapkan padanya, akhirnya bergegas aku pulang ke rumah menemui keluargaku. Sesampainya di rumah aku melihat keluargaku yang sedang berkumpul, bahagia seperti biasanya. Belum saja aku berbicara sepatah kata, air mata ini berlinang, menetes tepat di hadapan keluargaku. Sontak saja keluargaku kaget, apa yang sudah terjadi. Tubuhku lemas dan terkapar seketika, aku hanya berbicara sedikit kata bahwa Dee sudah tiada. Ucapan itu membuat keluargaku histeris, nyaris tidak percaya bahwa orang yang mereka cintai tidak akan hadir kembali. Ayah dan ibuku terlihat panik, menangis sambil bergegas ingin pergi ke rumah keluarganya Dee. Aku melarangnya. "Jangan sekarang, biarkan disana terlihat tenang dulu". Kataku yang tak ingin melihat keluargaku lebih sedih lagi. "Ya sudah, nanti kita datang pas 7 hari setelah kematiannya". Ibuku berkata seperti sambil terus menangis.

Hari terus berganti, tak sabar menunggu tepat hari ke 7-nya walaupun tetap keruh dengan perasaan duka dan sedih. Tiba juga hari ke 7-nya, akhirnya keluargaku berangkat menemui keluarganya. Sesampainya disana, keluarga Dee pun menyambut kami dengan wajah-wajah yang masih berlinang air mata. Kita, keluargaku dan keluarga Dee berkumpul membicarakan keadaan yang sebenarnya terjadi. "Tepatnya hari minggu, De pergi bersama laki-laki, tetangganya sendiri, sudah dilarang, namun tetap memaksakan diri" mendengarkan ibunya berkata seperti itu, nyaris saja emosiku tak terkontrol, sambil ingin segera menemui siapa laki-laki yang membawanya. Seolah-olah aku ingin memberinya pelajaran, namun sudahlah aku sadar, buat apa, aku melakukan hal apapaun Dee takkan mungkin hadir lagi.

Yang membuat aku sangat sedih saat itu adalah kumpulnya dua keluarga besar dalam kesedihan. "Kenapa keluarga kita dipertemukan saat kau sudah tiada, kenapa keluarga kita dipertemukan dalam duka, kenapa, kenapa, dan kenapa. Bukankah seharusnya keluarga kita berkumpul saat kau dan aku masih bersama". Lamunanku di hati sambil menahan rasa sedih yang tak terkira.

Tak lama kemudian setelah keluargaku dan keluarganya panjang lebar berbincang, akhirnya keluargaku berangkat juga ke pemakamannya Dee. Ayahku, keluargaku membaca do'a di depan batu nisan yang bertulisan namanya. Aku sendiri, sama seperti keluargaku mengucapkan do'a yang terbaik untuknya. Sepertinya dihari ini mulailah kesedihan yang benar-benar sangat sedih. "Ragamu ada di bawah sana, aku berdiri di depanmu, apa kamu bisa melihatku, lihatlah kami, keluargaku datang hanya ingin kamu bahagia, walaupun kita takkan pernah bertemu lagi disini, tempat ini, tempat yang selalu dapat memberi senyum untukmu dan untukku". Ucapku dalam hati sambil berdiri tepat di atas bunga-bunga yang harum itu.

Sepulangnya keluargaku dari makam, tak lama kemudian keluargaku pun pamit pulang. Aku juga sama, pamit dan pulang sambil menjabat dan mencium tangan keluargamu.
***
Satu-dua-tiga-empat hari dan terus hari berganti, aku merasa kesepian, merasa tak ada lagi yang perlu ditunggu tuk datang, tak ada waktu yang begitu indah, tak kudapat senyum seperti biasanya, aku hanya berdiam diri meluangkan banyak waktu sendiri di kamar yang pernah disinggahinya. "Mungkin seperti ini rasanya ditinggalkan oleh seseorang yang kita cintai, orang lain hanya menyampaikan SABAR, tak merasakan apa yang sebenarnya kurasakan".

Dua bulan berlalu aku masih belum bisa merelakan kepergiaanya, wajah ini semakin pucat, kesehatan yang tak ter-urus, aktifitas yang seharusnya padat menjadi sebuah waktu yang kubuang percuma. "Buat apa aku terus menjalani hidup kalau kebahagaianku sudah tiada" hanya kata-kata itu yang tersimpan di hati. Satu tahun setelah kepergiannya aku masih saja bermalas-malasan dengan rasa sedih yang semakin kuat. Entah, aku tidak bisa menjadi seperti biasanya, tersenyum dan gembira menjalani hidup. Tak lama kemudian perlahan jiwa ini sadar, perlahan aku bisa mengikhlaskannya, perlahan aku bisa tersenyum, perlahan aku bahagia. Aku mampu mengendalikan diri setelah membuka dan mengingat kata-kata yang pernah ia ucapkan dulu.

Dee sekarang aku sudah mengikhlaskanmu, semoga kamu dapat tersenyum, aku juga.

SURAT UNTUK Dee

Sangkaanku Kukira kamu akan hidup bersamaku lebih lama lagi, kukira kamu akan memberi tahu tujuan kebersamaan hidup kita dulu, kukira kamu hanya orang yang bisa merendahkan aku, kukira kamu tidak akan memberi yang terbaik dikebersamaan kita dulu. Namun, kamu memberikan segalanya, terbaik untukku dan semua orang disekitarmu. Aku, sekarang tahu, ternyata semua ucapanmu dulu adalah untuk melihat aku bisa sehebat ini sekarang. Aku sekarang kuat, mampu menyimpan rasa sedih sendiri, mampu bahagia sendiri, tanpa perlu teman sepertimu lagi. Aku percaya, kepergianmu membuat semua orang bahagia, kamu pun juga. Semua ini rencana Tuhan, sudah ditulis sebaik mungkin, tak ada sedikit pun kesalahan. Aku sekarang mampu menerima semua ini, kamu pun juga, karena semua ini jalan terbaik dari-Nya. Keluarga-ku dan Keluarga-mu sekarang sangat akrab, sesekali satu sama lain saling bersilaturahmi, aku menyayangi kelurgamu seperti aku menyayangimu. Aku senang, terkadang datang menemui kakak, ayah, ibu, dan semua keluargamu, tak lupa juga dengan adikmu. Kelak, aku bisa bermain bersama adikmu, menjaganya seperti yang pernah kau pinta dulu. Dee sekarang aku sangat bahagia, keluargamu seperti keluargaku juga, kedua orang tua-mu ku anggap keluarga-ku juga, kakakmu ku anggap kakakku juga, adikmu ku anggap adikku juga. Bukan, aku bukan mengambil hak dari kebahagiaanmu, namun hati nurani memiliki perasaan yang kuat bahwa mereka (keluargamu) adalah bagian dari hidup yang harus kulanjutkan. Sesekali kutatap bingkai potomu yang terpasang di dinding dengan rapih, aku yakin kamu di tempat bahagia, tersenyum menikmati keindahan yang sekarang kau punya. Aku, Keluargaku, Keluargamu, dan semua orang mendo'akan apa yang terbaik untukmu, begitupun orang yang membaca ini.